Wednesday, November 27, 2013

Hadits tentang pendidikan keluarga

Tags

BAB I
PENDAHULUAN

      A.    Latar Belakang Masalah
Problema yang dihadapi oleh generasi muda masa kini terus berkembang semakin subur. Problema yang dihadapi tersebut merupakan peringatan dini yang akibatnya akan membawa kefatalan yang mengerikan. Mereka adalah para penanggung-jawab dari generasi yang akan datang sesudah mereka.
Maka dari itu agar kesalahan yang fatal tidak terjadi, kita harus membina sejak dari sekarang dimulai dari keluarga kita sendiri tentang pentingnya pendidikan keluarga. Sebagai rujukan kita dapat mengambil dari berbagai nasehat yang telah Rasulullah sampaikan dalam hadits-haditsnya.

      B.     Rumusan Masalah
  1.       Bagaimanakah pernyataan hadits-hadits tentang pendidikan keluarga?
  2.     Bagaimanakah pemaparan teori atau konsep pendidikan kontemporer  yang sesuai dengan hadits-hadits pendidikan keluarga?
  3.      Bagaimanakah pendapat atau analisa pemakalah terhadap hadits dan konsep pendidikan kontemporer?

BAB II
PEMBAHASAN
      A.    Hadits tentang Pendidikan Keluarga
Pendidikan keluarga mencakup seluruh aspek dan melibatkan semua anggota keluarga, mulai dari bapak, ibu dan anak-anak. Namun yang lebih penting adalah pendidikan itu wajib diberikan orang tua (orang dewasa) kepada anak-anaknya. Anak bukanlah sekedar yang terlahir dari tulang sulbi, atau anak cucu keturunan kita saja, namun termasuk juga anak seluruh orang muslim dimana pun mereka berada atau berasal dari kebangsaan mana pun. Kesemuanya adalah termasuk generasi umat yang menjadi tempat bertumpu harapan kita, untuk dapat mengembalikan kesatuan umat seutuhnya.[1] Hadits-hadits pendidikan di bawah ini adalah sebagian dari nasehat bapak pendidikan umat Islam Nabi Muhammad SAW, di antaranya:
      1.      Hadits tentang berbakti kepada ibu-bapak
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اَللهُ عَنْهُ قَالَ: اَقْبَلَ رَجُلٌ اِلَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ: اُبَايِعُكَ عَلَى الهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ اَبْتَغِى الآجْرَ مِنَ اللهِ قَالَ: هَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ اَحَدٌ حَيٌّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَارْجِعْ اِلَى وَالِدَيْكَ فاَحْسِنْ صُحْبَتَهُماَ (رواه مسلم)
Artinya: “Dari Abu Hurairota r.a. berkata: Ada seorang laki-laki menghadap kepada Rasulullah SAW lalu ia berkata : Saya berjanji kepada engkau, wahai Rasulullah untuk berhijrah dan berjuang agar mendapatkan pahala dari Allah. Beliau bersabda: Apakah salah seorang dari kedua orang tuamu masih hidup? Laki-laki itu menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda pula: Pulanglah kamu kepada kedua orang tuamu dan dampingilah keduanya dengan baik." (H.R. Muslim)[2]
      2.      Hadits tentang tanggung jawab kepala rumah tangga
عَنِ عَائِشَةٍ رَضِيَ الله ُعَنْهَا قَالَتْ: دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةِ اِمْرَأَةُ أَبِى سُفْيَانَ عَلَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ  اَنْ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ لَا يُعْطِيْنِيْ مِنَ النَفَقَةِ مَا يَكْفِيْنِى وَيَكْفِى اِبْنِى اِلَّا مَاأَخَذَتْ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عَلَّمَهُ, فَهَلْ عَلىَّ فِى ذَلِكَ مِنْ جُنَاحِ؟ فَقَالَ: خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالمْعَرْوُفْيِ مَا يَكْفِيْكَ وَمَا يَكْفِي بَنِيْكَ. (متفق عليه)
Artinya: “Aisyah RA menceritakan, bahwa pada suatu kali datanglah Hindun binti ‘Utbah, yaitu isteri Abu Sufyan menemui Rasulullah SAW seraya berkata, “Hai Rasulullah! Abu Sufyan itu ialah laki-laki yang kikir, sehingga tidak diberinya saya nafkah yang memadai untukku, kecuali hanya dengan mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah saya berdosa dengan begitu?” Jawab Beliau, “Ambillah sebagian hartanya itu dengan niat baik secukupnya yaitu untukmu dan anak-anakmu.” (Mutafaq ‘Alaih)
3.      Hadits tentang tugas-tugas istri atau ibu
وَاْلاِمْرَأَةُ فِى اْليَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ, وَهِىَ مَسْؤُوْلَةٌ عَنْ رَاعِيَتِهَا (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Dan seorang istri adalah penanggung jawab (pemimpin) di dalam rumah suaminya dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya atas tugas dan kewajiban itu.” (HR. Bukhori dan Muslim)[3]
      4.      Hadits tentang pendidikan terhadap anak
حَدَّثَنَا مُؤَمَّلُ بْنُ هِشَامٍ يَعْنِي الْيَشْكُرِيَّ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ عَنْ سَوَّارٍ أَبِي حَمْزَةَ قَالَ أَبُو دَاوُد وَهُوَ سَوَّارُ بْنُ دَاوُدَ أَبُو حَمْزَةَ الْمُزَنِيُّ الصَّيْرَفِيُّ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ ,قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ[4]

Artinya: “Berkata Mu’ammal ibn Hisyam Ya’ni al Asykuri, berkata Ismail dari Abi Hamzah, berkata Abu Dawud dan dia adalah sawwaru ibn Dawud Abu Hamzah Al Muzanni Al Shoirofi dari Amru ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata, berkata Rasulullah SAW: Suruhlah anakmu melakukan sholat ketika berumur tujuh tahun. Dan pukullah mereka karena mereka meninggalkan sholat ketika berumur sepuluh tahun. Dan pisahlah mereka (anak laki-laki dan perempuan) dari tempat tidur.” (H.R. Abu Dawud)[5]

      B.      Konsep Pendidikan Kontemporer Berdasarkan Hadits-Hadits tentang Pendidikan Keluarga
Sesuai dengan penjelasan hadits-hadits di atas, maka dapat kita ambil beberapa konsep pendidikan kontemporer yang sesuai dengan hadits-hadits tentang pendidikan keluarga. Di antaranya seperti penjelasan di bawah ini:
1.      Pendidikan tentang berbakti kepada orang tua
Menghormati dan bersikap santun kepada orang tua, diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Rasa hormat dan santun tidak boleh berkurang kendatipun berbeda agama dengan orang tua itu (ibu-bapak). Agama Islam membedakan antara pergaulan dan akidah. Pergaulan berhubungan dengan sesama manusia, termasuk ibu bapak. Sedangkan akidah (iman) berhubungan dengan Allah SWT.[6]
Cara berbakti kepada kedua orang tua ibu-bapak di antaranya:
          a.       Bersikap sopan santun, berkata lemah lembut yang menyejukkan hati keduanya.
          b.      Perlihatkan muka yang jernih bila berhadapan dengan keduanya.
          c.       Berilah keperluan hidupnya yang layak.
          d.      Tempatkan keduanya pada tempat (rumah) yang layak.
Perhatian, sikap lemah lembut dan sopan santun lebih diutamakan. Sebab, materi, bukan segala-galanya. Walaupun kedua orang tua kaya raya, tetapi pemberian anaknya sangat tinggi nilainya dimata ibu-bapaknya. Orang tua tidak melihat harga barang yang diterimanya dan tidak pula melihat besar kecilnya. Keiklasan anaknya yang paling utama.[7]
Perlu diketahui bahwa berbakti kepada ibu adalah lebih berlipat pahalanya dari kebaktian terhadap ayah. Begitulah maksud dari sebuah riwayat hadits. Hal ini disebabkan karena sang ibu telah mangalami kesusahan dan kepayahan mengandung yang diikuti dengan sakitnya melahirkan anak, menyusui dan mengasuhnya hingga menjadi besar, dan seterusnya senantiasa memberikan penuh perhatian, belas kasih dan kasih sayang.
Sebagaimana seseorang itu wajib berbakti kepada kedua orang tua semasa mereka masih hidup, maka wajib pula berbakti kepada keduanya sesudah mereka mininggal dunia. Mendoakan orang yang sudah mati, dengan istighfar dan memohon ampunan bagi mereka, bersedekah bagi pihak mereka adalah terkandung faedah dan manfaat yang besar bagi orang-orang yang sudah mati. Maka, hendaknya setiap orang tidak melalaikan perkara-perkara itu khususnya bagi kedua ibu-bapaknya, kemudian kepada keluarga dan orang-orang yang telah berbaik budi terhadap kita, dan sesudah itu kepada kaum muslimin sekalian.[8]
      2.      Pendidikan tentang tanggung jawab kepala rumah tangga
Seorang ayah mempunyai tugas dan kewajiban terhadap anaknya yaitu, mengurus segala hajat dan keperluan mereka manakala membutuhkan. Seperti dalam hadits Nabi SAW:
عَنْ أَبِى مَسْعُوْدٍ البَدْرِيِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِذَا اَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى اَهْلِهِ يَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ (رواه متفق عليه)
Artinya: “Dari Abu Mas’ud Badri r.a. dari Nabi SAW bersabda: apabila seorang lelaki memberikan nafkah kepada keluarganya dengan rela maka yang demikian itu suatu sedekah baginya.” (HR. Mutafaq ‘Alaih)[9]
 Lebih dari itu, seorang ayah harus mendidik anak-anaknya, mengurus segala keperluan hidupnya, membimbingnya kepada akhlak yang terpuji, kelakuan yang baik dan perangai yang mulia, di samping memelihara dan menjauhkan mereka dari perkara-perkara yang sebaliknya. Juga , memuliakan semua perintah dan larangan agama, menyampingkan urusan keduniaan, melebihkan dan mengutamakan urusan akhirat.
Tugasnya yang lain ialah, memberi nama yang baik kepada anaknya, memilihkan istri dari keturunan orang-orang yang berbudi pekerti yang baik dan sholih, agar menjadi ibu yang diberkati oleh anaknya kelak. Hendaklah seorang ayah berlaku adil dalam pemberiannya kepada anak-anaknya. Tidak boleh melebihkan seorang atas lainnya, karena membedakan kasih sayang dan mengikuti kehendak hawa nafsunya sendiri.
Orang yang mengabaikan pendidikan anak-anaknya sebagaimana tersebut di atas, tidak memperhatikan pengajaran atas mereka, malah membuka pintu hatinya agar senantiasa cinta dunia dan tunduk di bawah kekuasaannya, sehingga anak-anak itu mendurhakai mereka dan tidak mengikuti petunjuk ajarannya, maka janganlah ia menyalahkan orang lain selain diri sendiri. Kerugian itu selalu menimpa orang yang alpa dan lalai. Di zaman ini, terlalu banyak anak-anak yang durhaka dan tidak mau mendengar perkataan ibu-bapaknya tersebar dimana-mana. Apabila kita teliti, penyebabnya tidak lain karena kelalaian ibu-bapaknya yang telah menyia-nyiakan pemeliharaan anak-anak itu sejak kecil.[10]
      3.      Pendidikan tentang tugas-tugas istri atau ibu
Tugas-tugas istri ialah fardhu’ain. Para ulama dalam hal ini sepakat, Syaikh Al Ghazali ulama Mesir kontemporer yang sering membela hak-hak perempuan menyatakan: ”Betapapun juga, prinsip dasar yang harus kita ikuti atau kita upayakan agar selalu dekat padanya ialah “rumah”. Saya benar-benar merasa gelisah pada kebiasaan para ibu rumah tangga yang meninggalkan (membiarkan) anak-anaknya tinggal dan diasuh oleh para pembantu atau diserahkan pada tempat penitipan anak. Nafas seorang ibu memiliki pengaruh yang luar biasa dalam menumbuhkan dan memelihara perilaku kebajikan dalam diri anak-anaknya.[11]
Tugas seorang ibu yang paling utama adalah melahirkan, menyusui hingga membesarkan anak. Setelah melahirkan peran ibu sangat dibutuhkan oleh bayi yaitu pemberian ASI yang cukup. Mulai dari mengandung hingga proses menyusui, pendidikan sudah mulai diajarkan. Berdasarkan pandangan yang diteliti, bahwa bayi yang baru lahir khususnya pada hari-hari dan bulan-bulan pertama, akan ditemukan sosok tubuh yang tulangnya masih lemah dan urat-uratnya masih lemas. Dia ibarat adonan roti yang terhidang di hadapan kita, siap dipolakan sesuai dengan keinginan kita. Setiap aspek kesehatan yang berkaitan dengan pertumbuhannya secara wajar, wajib diikuti dan harus diperhatikan, khususnya mengenai kebersihan dan kesucian, waktu musim, pergantian udara dan lain sebagainya.
Bayi bukanlah hanya sekedar badan, akan tetapi bayi itu tersusun atas badan wadak (tubuh) serta badan halus (ruh). Pengembangan potensi yang dimiliki keduanya sangat dipengaruhi oleh bentuk perlakuan dan kebiasaan keseharian. Yakni sebagaimana dilukiskan dalam sebuah syair:
فاَلْنَفْسُ كَالطِّفْلِ اِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَي# حُبِّ الرَّضَاعِ وَاِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمُ #
“Jiwa, bagaikan bayi mungil. Jika engkau biarkan menyusu, cenderung untuk menyusu hingga dewasa. Dan andaikan engkau sapih, niscaya dia akan tersapih.”
Demikianlah, kehidupan kejiwaan akan merekam berbagai isyarat, nada, gerak, profil, gambaran serta wajah. Dari sini akan tampak peranan seorang ibu dalam mewarnai perilaku sang anak. Dia adalah lembaga pendidikan yang pertama, yang mengajar muridnya secara individual. Sedangkan gerak dan kebiasaan keseharian, merupakan mata pelajaran. Pelajaran yang disapaikan oleh sang ibu terhadap anaknya merupakan peletakan batu pertama bagi pondasi kehidupan sang bayi untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang.[12]
      4.      Pendidikan terhadap anak
Pengertian hadits tentang pendidikan terhadap anak di atas mengandung pengertian yang sangat dalam dan bermakana luas, lagi mencakup pembahasan yang dimaksud, yakni:
            a.       Pembahasan tentang kedudukan ibadah dan pengaruhnya sangat besar terhadap pendidikan.
            b.      Hadits di atas memberi petunjuk dan mengandung hikmah serta tujuan yang sangat dalam.
Secara rasional, ibadah berupa shalat, puasa maupun yang lain, berperan mendidik pribadi manusia hingga kesadaran dan pikirannya terus-menerus berfungsi dalam semua pekerjaan. Pada hakikatnya semua pekerjaan yang dilakukan oleh manusia, apabila tidak ditimbang dengan neraca keridhaan Allah, maka perbuatan tersebut akan berubah menjadi malapetaka bagi yang melakukannya.[13]
Sejak dini, seorang anak sudah harus dilatih ibadah, diperintah melakukannya dan diajarkan hal-hal yang haram serta yang halal.
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
Artinya: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akhirat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.” (Q.S. Thaha: 132)[14]
Kalau shalat belum diwajibkan atas anak-anak yang masih kecil mengingat mereka belum berstatus mukallaf. Islam mewajibkan kepada orang tua atau walinya untuk melatih mereka dan memerintahkannya kepada mereka. Islam menekankan kepada kaum muslimin, untuk memerintahkan anak-anak mereka menjalankan shalat kepada mereka telah berusia tujuh tahun. Hal ini dimaksudkan agar mereka senang melakukannya dan sudah terbiasa semenjak kecil. Sehingga apabila semangat beribadah sudah bercokol pada jiwa mereka, niscaya akan muncul kepribadian mereka atas hal tersebut.
Dengan demikian, diharapkan ia punya kepribadian dan semangat keagamaan yang tinggi. Tujuan mengajarkan wudhu dan menunaikan shalat fardhu pada waktunya, pada dasarnya adalah mengajarkan ketaatan, disiplin, kesucian dan kebersihan. Demikian pula dengan membiasakan anak-anak kecil menunaikan puasa, adalah dalam rangka supaya mereka sabar dalam beribadah dan dalam menghadapi beban-beban kehidupan.[15]

C.     Analisa tentang Konsep Islam dalam Pendidikan Keluarga
Keluarga merupakan batu bata dalam bangunan bangsa. Satu bangsa terdiri dari kumpulan keluarga, bangsa itu akan lemah bila rumah tangga itu rapuh dan lemah.[16] Oleh sebab itu, setiap komponen dalam keluarga memiliki peranan penting. Dalam ajaran agama Islam, anak adalah amanat Allah. Amanat wajib dipertanggungjawabkan, Allah memerintahkan: “Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksaan neraka”. [Q.S. At-Tahriim: 6]. Kewajiban itu dapat dilaksanakan dengan mudah dan wajar karena orang tua memang mencintai anaknya. Manusia diciptakan oleh Allah mempunyai sifat mencintai anaknya. “Harta dan anak-anak merupakan perhiasan kehidupan dunia”. [Al-Kahfi ayat 46].
Uraian diatas menegaskan bahwa:
         1.      Wajib bagi orang tua menyelenggarakan pendidikan dalam rumah tangganya.  
         2.      Kewajiban itu wajar (natural) karena Allah menciptakan orang tua yang bersifat mencintai anaknya.
Agama Islam secara jelas mengingatkan para orang tua untuk berhati-hati dalam memberikan pola asuh dan memberikan pembinaan keluarga sakinah, seperti yang termaktub dalam QS Lukman ayat 12 sampai 19. Dan apabila kita kaji isi ayat di atas, maka kita akan menemukan beberapa point-point penting di antaranya adalah :
         1.      Pembinaan jiwa orang tua
Pembinaan jiwa orang tua di jelaskan dalam Surah Luqman ayat 12 : Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
         2.      Pembinaan tauhid kepada anak
Makna tentang pembinaan tauhid, Luqman Ayat 13 : Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kezhaliman yang besar”. Luqman Ayat 16 : (Lukman berkata) : Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”
         3.      Pembinaan akidah kepada anak
Mengenai pembinaan akidah ini, Surah Luqman memberikan gambaran yang begitu jelas. Dalam surat tersebut pembinaan akidah pada anak terdapat dalam empat buah ayat yaitu ayat 14, 15, 18 dan ayat ke 19.
         4.      Pembinaan sosial pada anak
Pembinaan sosial pada anak dalam keluarga, dijelaskan dalam surat Luqman ini melalui ayat ke 16 dan ayat ke 17. Untuk ayat ke 16 telah disebutkan pada point ke dua. Sedangkan ayat ke 17 dari surat Luqman berbunyi : “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang patut diutamakan.”[17]



BAB III
PENUTUP
      A.    Simpulan
Maka dari penjelasan di atas dapat kami simpulkan bahwa, keluarga adalah suatu komponen terkecil dalam suatu bangsa. Apabila dalam bangsa itu terdapat satu keluarga saja yang lemah atau rusak maka bangsa itu akan lemah juga. Anak merupakan bagian dari keluarga yang sangat membutuhkan pembinaan dari kedua orang tuanya. Pembinaan itu mencakup: 
           1.      Pembinaan jiwa orang tua
           2.      Pembinaan tauhid kepada anak
           3.      Pembinaan akidah kepada anak
           4.      Pembinaan sosial pada anak

      B.     Daftar Pustaka
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud , Al Maktabah As Syamilah: As Sholat, 418.

Al-Halwani, Aba Firdaus, Melahirkan Anak Saleh, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999.

Haddad, Imam Habib Abdullah, Nasehat Agama dan Wasiat Iman, Semarang: CV Toha Putra: 1993.

Hasan, M. Ali, Mengamalkan Sunnah Rasulullah, Jakarta: Siraja, 2003.

Mahfudz, M. Jalaluddin, Psikologi Anak dan Remaja, t.t.: Pustaka Al-Kautsar, t.t.

Muhammad, Husein, Fiqih Perempuan, Yogyakarta: LKiS, 2001.

Muslim, Romdoni, Hadits Akhlak, Jakarta: Restu Ilahi, 2004.

Rifa’i, Moh., Terjemah/ Tafsir Al Qur’an, Semarang: CV Wicaksana, 1997.

Syahid, Mahmud, Akidah dan Syariah Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1990.

Zarkasih. Monday, 26 April 2010 09:40 (mahardhikazifana.com, diakses 17 Oktober 2011).



       [1] Aba Firdaus Al-Halwani, Melahirkan Anak Saleh (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999), 13.
       [2] Romdoni Muslim, 300 Hadits Akhlak (Jakarta: Restu Ilahi, 2004), 58-59.
        [3] Husein Muhammad, Fiqih Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2001), 126.
       [4] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud ,Al Maktabah As Syamilah: As Sholat, 418.
       [5] Aba Firdaus Al-Halwani, Melahirkan Anak Saleh, 101.
       [6] M. Ali Hasan, Mengamalkan Sunnah Rasulullah (Jakarta: Siraja, 2003), 180.
       [7] M. Ali Hasan, Mengamalkan Sunnah Rasulullah, 183-184.
       [8] Imam Habib Abdullah Haddad, Nasehat Agama dan Wasiat Iman (Semarang: CV Toha Putra: 1993), 296.
       [9] Romdoni Muslim, 300 Hadits Akhlak (Jakarta: Restu Ilahi, 2004), 173.
       [10] Imam Habib Abdullah Haddad, Nasehat Agama dan Wasiat Iman, 298.
       [11] Husein Muhammad, Fiqih Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2001), 126.
       [12] Aba Firdaus Al-Halwani, Melahirkan Anak Saleh, 57-58.
       [13] Ibid, 101.
       [14] Moh. Rifa’I, Terjemah/ Tafsir Al Qur’an (Semarang: CV Wicaksana, 1997), 571.
       [15] M. Jalaluddin Mahfudz, Psikologi Anak dan Remaja (t.t.: Pustaka Al-Kautsar, t.t.), 126-128.
       [16] Mahmud Syahid, Akidah dan Syariah Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), 149.
       [17] Zarkasih. Monday, 26 April 2010 09:40 (mahardhikazifana.com, diakses 17 Oktober 2011)

2 komentar

Tulisan yang mudah-mudahan bermafaat ..

admin
www.RumahBelanjaMuslim.Com


EmoticonEmoticon